Gadai Syariah
Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara
bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat
memberi arti al-hab (tertahan).[2] Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah
yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a
untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau
sebagaian utang dari benda itu.[3]
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang
diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan. Dari
kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi
mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak
(piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya
maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti
akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat
dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar
hutangnya.
Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003)
mengutip pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab
yang mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai
kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu
bilautang tidak dibayar.” Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan
bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan bisnis,
jual beli mitra.
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab
Al-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang
untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya
dari yang berpiutang.
Dari ketiga defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa rahn
merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai
nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan
boleh mengambil utang.
B. Landasan Hukum Gadai
Syariah
Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya
rahn yakni bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang
diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai.
Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli
makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat
bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar
(jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang
menggadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang
menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga,
dan sifat akad rahn. Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal,
baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan
dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau yang mewakilinya.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn
dapat dilakukan karena kejelasan akan rahin, murtahin dan marhun merupakan
keharusan dalam akad rahn. Sedangkan
mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akad rahn, al-Qur’an dan al-Sunah
serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau
transaksi jual beli yang diizinkan untuk menggunakan akad rahn.
Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rusdy
bahwa mazhab Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala
macam harga dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan
pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini
disebabkan karena pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada
harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai
(rahn) tidak boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini
berdasar pada ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah
hutang piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.
Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian
ulama beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli
yang bermacam-macam, walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan
pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.
Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh
merupakan amanat yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan
sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai
tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada
orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam
hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah
ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi
sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
Gadai syariah merupakan produk jasa gadai (rahn) yang diklaim
dilaksanakan sesuai syariah, sebagai koreksi terhadap gadai konvensional yang
haram karena memungut bunga (riba).
Gadai syariah berkembang pasca keluarnya Fatwa DSN MUI No 25/DSN-MUI/III/2002
tentang rahn, Fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas, dan Fatwa
DSN MUI No 68/DSN-MUI/III/2008 tentang rahn tasjily. Sejak itu marak berbagai
jasa gadai syariah, baik di Pegadaian syariah maupun di berbagai bank syariah.
Gadai syariah tidak menghapus bunga, melainkan mengganti
bunga itu dengan biaya simpan atas dasar akad ijarah (jasa). Jadi dalam gadai
syariah ada dua akad : Pertama, akad rahn, yaitu akad utang (qardh) oleh rahin
(nasabah) kepada murtahin (bank/pegadaian syariah) dengan menggadaikan suatu
harta tertentu sebagai jaminan utang. Kedua, akad ijarah, yaitu akad jasa di
mana murtahin menyewakan tempat dan memberikan jasa penyimpanan kepada rahin.
Di Pegadaian syariah, biasanya platfon utang yang diberikan
maksimal 90 persen dari nilai taksiran, dengan jangka waktu utang maksimal 4
bulan. Besarnya biaya simpan Rp 90 untuk setiap kelipatan Rp 10.000 dari nilai
taksiran per sepuluh hari. Ini sama dengan 0,9 persen per 10 hari = 2,7 persen
per 30 hari = 10,8 persen per 120 hari (4 bulan).
C. Solusi Mekanisme Operasional Pegadaian dengan
Penerapan berdasarkan Prinsip Syariah
Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, sungguh
merupakan suatu hal yang ironis, ketika terdapat sebuah lembaga keuangan formal
( pemerintah) tidak bisa memperoleh pendapatan yang dapat menunjang
kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Adapun lembaga pegadaian, seandainya
dalam aktivitasnya tidak menggunakan sistem bunga ( memungut bunga dari pinjman
pokok ), maka tentunya lembaga tersebut akan mengalami hal yang demikian. Akan
tetapi, di sisi lain sistem tersebut sangat memberatkan bagi nasabah, karena
pemungutan bunganya yang ditetapkan setiap 15 hari sekali.
Memang hal ini tidaklah terlihat berat jika pinjaman tersebut
bersifat kecil, namun jika uang yang dipinjamkan tersebut sangat besar
jumlahnya, maka akan sangat memberatkan bagi nasabah.Persoalan ini cukup
kompleks. Jika salah satu dimenangkan, maka hal ini akan terlihat tidak
adil. Karena pihak penerima gadai yang
saat ini bestatus lembaga pegadaian, akan merasa dirugikan jika dalam
operasional usahanya tidak mendapay keuntungan yang akan menunjang kegiatan
usahanya. Sedangkan pihak yang menggadaikan diwajibkan membayar berupa bunga
setiap 15 harinya, maka hal ini juga akan merugikan pihak penggadai.
Karena barang atau hartanya telah ditahan oleh penerima
gadai. Selain itu hal yang menjadi sangat pokok dalam persoalan ini adalah
penerapan bunga yang berbuntut riba yang jelas-jelas dilarang oleh
syara’.Berangkat dari persolan tersebut, maka berikut sebuah solusi yang bisa
dijalankan guna lembaga pegadaian yang merupakan lembaga penolong dapat tetap
eksis dalam menjalankan mottonya “ mengatasi masalah tanpa masalah.”
1. Kategori Barang
Gadai
Muhammad Shalikul hadi mengutip pendapat Basyir (2003) bahwa
jenis barang gadai yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis
barang bergerak dab tak bergerak, sehingga barang yang dapat digadaikan bisa
semua barang asal memenuhi syarat:
(1) Merupakan benda
bernilai menurut hukum syara’
(2) Ada wujudnya
ketika perjanjian terjadi
(3) Mungkin
diserahkan seketika kepada murtahin.
2. Pemeliharaan Barang
Gadai
Ada perbedaan pendapat para ulama dalam halpemeliharaaan
barang gadai. Ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat biaya pemeliharaan
barang gadai menjadi tanggung jawab pemberi gadai karena barang tersebut
merupakan miliknya dan akan kembali kepadanya. Sedangkan para ulama Hanafiah
berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penerima
gadai yang mana dalam posisinya sebagai penerima amanat. Berdasarkan pendapat
di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya pemeliharaan barang gadai
adalah hak rahin dalam kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Akan tetapi jika
harta atau barang jaminan tersebut menjadi kekuasaan murtahin dan di izinka
oleh maka biaya pemeliharaan jatuh pada
murtahin.
Sedangkan untuk mengganti biaya tersebut nantinya, apabila
murtahin mendapat izin dari rahin maka murtahin dapat memungut hasil marhun
sesuai dan senilai dengan yang telah ia keluarkan. Tetapi apabila rahin tidak
mengizinkannya maka biaya pemeliharaan menjadi utang rahin kepada murtahin.
Pendapat ini dikutip oleh Muhammad Shalikul Hadi dari Sabiq (2003) Resiko Atas
Kerusakan Menurut para ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa murtahin
tidak bertanggung jawab atas rusaknya barang gadai jika tidak disengaja.
Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa hal tersebut menjadi tanggungan
murtahin sebesar harga barang minimum, dihitung mulai waktu diserahkannya barang
gadai kepada murtahin sampai barang tersebut rusak.
Shalikul Hadi mengutip Basyir (2003: 84) Pembayaran Atau
Pelunasan Hutang Gadai Apabila sudah samapai jatuh tempo dan rahin ( penerima
gadai ) belum membayarkan kembali utangnya maka murtahin ( pemberi gadai )
boleh memaksa rahin untuk menjual barangnya. Kemudian hasilnya digunakan untuk
menebus utang tersebut sedangkan jika terdapat sisa atas penjualan barang
tersebut, maka akan dikembalikan kepada rahin. Prosedur Pelelangan Gadai Jika
ada persyaratan akan menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, maka ini diperbolehkan
dengan ketentuan:
(1) Murtahin harus
mengetahui terlebih dahulu keadaan rahin
(2) Dapat
memeperpanjang tenggang waktu pemabayaran
(3) Kalau keadaan
mendesak murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan
izin rahin
(4) Apabila ketentuan
di atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai dan kelebihan
uangnya dikembalikan kepada rahin
3. Pembentukan Laba
Pegadaian
Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa pegadaian memperoleh
laba dari bunga gadai. Tetapi dari segi kaca mata syariah hal ini dilarang.
Tentunya jika bunga gadai dihapuskan maka lembaga pegadaian tidak akan dapat
melanjutkan operasionalnya lagi. Sebaliknya jika hal ini diperbolehkan hukum
haram atas riba mengikatnya dan tentu saja kerugian salah satu pihak akan
terjadi.untuk mengatasi hal tersebut dapat diterapkan sebagai berikut:
(1) Melakukan
transaksi gadai dengan akad Rahn
(2) Melakukan
transaksi gadai dengan akad Bai’ al Muqoyyadah
(3) Melakukan Akad al
Mudharabah.
(4) Melakukan dengan
akad Qardhul Hasan
Itulah beberapa alternatif yang bisa dijalankan guna
mengeliminir praktek riba dalam pegadaian konvensional. Da njuga sebagai solusi
atas persoalan yang terdapat dalam pegadaian saat sekarang ini, sehingga
diharapkan natinya lembaga ini benar-benar telah menjalankan mottonya sebagai
lembaga yang mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah.
Simulasi pembiayaan
syariah
Tanggal pinjaman :
12-11-2015
Tanggal pelunasan : 10-03-2016
Nilai taksiran :
Rp. 1.200.000,-
Jumlah pinjaman :
Rp. 500.000,-
Tipe pelunasan :
Tebus
Tarif jasa simpan :
5,4% (0,450% / 10 hari)
Tarif diskon jasa simpanan :
56%
Hari Ijaroh / Periode :
120 hari
Jumlah biaya administrasi :
Rp. 0
Jumlah jasa simpan :
Rp. 28.600
Total Pelunasan :
Rp. 528.600
Keterangan :
Tidak ada biaya administrasi
Jika ingin melakukan perpanjangan waktu pinjaman maka
dihitung berdasarkan periode atas jasa simpan.
Pelaksanaan eksekusi terhadap debitur yang wanprestasi sama
halnya dengan gadai konvensional, perum gadai syariah akan mengadakan lelang
terhadap barang gadai yang sudah sampai batas waktu yang telah ditetapkan
penerima gadai masih tidak dapat melunasi pinjamannya
ref : pegadaian.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar